SISTISERKOSIS
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit
Menular
Oleh:
Kelompok 2
Epidemiologi Penyakit Menular Kelas A
Anggota:
Fajar
Prasetyo 102110101012
Cladyaprisyafitri
B 102110101029
Puput
Baryatik
122110101020
Rizky
Romdany 122110101033
Intan
Mustiko P 122110101066
Niken
Larasati 122110101067
Aprilia
Indra A 122110101126
Ayu
Wulandari 122110101168
Herdian
Riskianto 122110101180
Adila
Rokhmaniar 122110101189
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2014
Kata Pengantar
Assalamualaikum wr.wb,
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat dan ridho-Nya makalah tentang Sistiserkosis dapat tersusun setelah mengalami
beberapa kali perbaikan. Pengetahuan kita akan wawasan memang sangat perlu
untuk kita ketahui mengingat dengan bidang yang akan kita pelajari nantinya
yaitu Epidemiologi Penyakit Menular. Semoga ilmu pengetahuan dan informasi yang
terkandung di dalam makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca. Apabila
terdapat salah kata atau pengetikan kami minta maaf karena kesempurnaan hanya
milik Allah dan kesalahan hanya milik kami.
Wassalamualaikum
wr.wb.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Taeniasis/sistiserkosis
merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara penularan/transmisinya
diklarifikasikan pada golongan siklozoonosis. Siklozoonosis merupakan zoonosis
dengan siklus penularan yang membutuhkan lebih dari satu jenis vertebrata,
tetapi tidak melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen
penyebab penyakit. Taenasis merupakan siklozoonosis obligat dimana manusia
harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya.
Sistiserkosisi
adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia
solium yaitu cacing pita pada babi. Sampai saat ini, sistiserkosis masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang
seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia,
sampai saat ini, diketahui sistiserkosis ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali,
Papua (Irian Jaya) dan Sumatra Utara. Penyakit ini disebut juga sebagai
penyakit pork measles, beberasan di
daerah Bali, manis-manisan di daerah Tapanuli, dan banasom di daerah Toraja.
Kepentingan
kesehatan masyarakat dari T.solium adalah bahwa manusia dapat terinfeksi oleh
telur cacing dan mendapatkan sistiserkus pada jaringan tubuhnya, sedangkan
kepentingan T. saginata adalah
manusia dapat trinfeksi larva dan cacing dewasa dapat berkembang di usus
manusia. Taeniasis/sistiserkosis merupakan masalah yang penting di Indonesia
yang disebabkan oleh tiga spesies cacing pita T.solium, T.saginata, dan T.asiatica. ketiga cacing pita ini pernah
dilaporkan dari provinsi di Indonesia yang merupakan daerah endemic
taeniasis/sistiserkosis yaitu Bali (T.solium dan T.saginata), Papua (T.solium),
dan sumatera utara (T.asiatica).
ketiga cacing ini memiliki inang definitif yatu manusia dan inang perantara
antara lain : untuk T.solium adalah
babi, domba, kera, kucing, anjing, dan unta; T.saginata adalah sapi dan kerbau; dan T.Asiatica pada hewan liar seperti anjing dan babi liar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan sistiserkosis?
2. Apa
saja tanda dan gejala yang timbul dari penyakit sistiserkosis?
3. Bagiamana
mencegah penyakit sistierkosis?
4. Bagaimana
cara penganggulangan dari penyakit sistiserkosis?
1.3 Tujuan
1.
Untukmengetahuidefenisi dari
sistiserkosis
2.
Untuk mengetahui etiologigejalaklinisdari
penyakit istiserkosis
3.
Untuk mengetahui cara pencegahan
terhadap penyakit sistiserkosis
4.
Untuk mengetahui carapenanggulangandaripenyakitsistiserkosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penyakit Sistiserkosis
Sistiserkosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium(cacing pita babi).
Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau
cysticercus cellulosae. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang
berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak.
Manusia berperan
sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai
hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan menderita
sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan
tertelan. Di dalam lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur,
embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam
saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut
antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain.
Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis,
sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum
disebut disini sistiserkosis
Kejadian sistiserkosis setelah
dikontrol secara bersamaan mempunyai keterkaitan dengan pola kebersihan manusia
seperti cuci tangan, jenis pekerjaan, frekuensi mandi, jenis sumber air bersih
dan tempat buang air besar. Perlu dilakukan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat tentang hal-hal sebagai berikut: kebiasaan mencuci tangan,
pentingnya mandi dengan menggunakan air bersih serta membuang air besar pada
tempat yang terlindung.
2.2 Etiologi Penyakit Sistiserkosis
Terjadinya
penyakit sistiserkosis disebabkan oleh Taenia solium (cacing pita daging babi).Siklus
hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain
yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Babi adalah hewan omnivore
termasuk memakan tinja manusia.Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot
melintang tubuh babi.Bahayanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia
sehingga manusia bertindak sebagai inang anatara walaupun secara kebetulan.
Seseorang akan menderita sistiserkosis apabila telur mencemari makanan
tertelan. Di dalam lambung telur akan akan dicerna, dinding telur hancur,
embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam
saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian akan
tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai
organ lain.
2.3 Tanda dan gejala Penyakit Sistiserkosis
Gejala klinis yang
timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi dari kista.Sebagian besar
penderita tidak menunjukkan gejala atau dapat ditemukan adanya nodul subkutan. Sistiserkosis
serebri sering menimbulkan gejala epilepsi atau gejala tekanan intrakranial meninggi
dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai gejala tumor otak.Pada kasus
yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik kalsifikasi dalam otak.Akibat buruk
mungkin terjadi jika larva cacing tersebut tersangkut pada jaringan mata, SSP
atau jantung. Jika pada sistiserkosis somatik ini muncul gejala antara lain
gejala seperti epilepsi, sakit kepala, tanda tanda kenaikan tekanan
intracranial atau gangguan psikiatri yang berat maka besar kemungkinan
sistiserkosis ada pada SSP.
Neurocysticercosis dapat menyebabkan cacat yang serius akan tetapi CFR nya
rendah.
Berikut ini ada beberapa
gejala klinis dari penyakit sistiserkosis antara lain :
1.
Cysticercosis
pada otot
, Cysticerci dapat berkembang dalam setiap otot pada manusia. Invasi otot oleh
cysticerci dapat menyebabkan myositis, disertai demam, eosinofilia, dan
pseudohypertrophy otot, yang dimulai dengan pembengkakan otot dan kemudian
berkembang menjadi atrofi dan fibrosis.
2.
Neurocysticercosis, Neurocysticercosis merupakan
istilah umum yang merujuk pada kista dalam parenkim otak. Biasanya berakibat
kejang dan sakit kepala (jarang terjadi).
3.
Neurocysticercosis
Intraventricular,
Kista terletak di dalam ventrikel otak, dapat memblokir arus keluar cairan
serebrospinal dan hadir dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
4.
Racemose
neurocysticercosis,
Racemose neurocysticercosis mengacu pada kista dalam ruang subarachnoid. Ini
kadang-kadang dapat tumbuh menjadi massa lobulated yang besar dan menyebabkan
tekanan pada struktur sekitarnya.
5.
Neurocysticercosis
Spinal,
Neurocysticercosis melibatkan sumsum tulang belakang, paling sering menyajikan
sebagai nyeri punggung dan radiculopathy.
6.
Sistiserkosis
Medic, Dalam
beberapa kasus, cysticerci dapat ditemukan di seluruh bagian tubuh ; otot luar
mata, dan subconjunctiva. Tergantung pada lokasi, sistiserkosis dapat
menyebabkan kesulitan visual yang berfluktuasi pada mata, edema retina, perdarahan,
visial menurun atau bahkan hilangnya penglihatan.
7.
Subkutan
sistiserkosis,
Kista subkutan adalah dalam bentuk lainnya, nodul seluler, terjadi terutama
pada batang dan ekstremitas. Nodul subkutan kadang-kadang menyakitkan.
2.4 Cara Penularan Penyakit Sistiserkosis
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan induk semang definitive. Segmen tubuh Taenia
yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang
antara (sapi dan babi) menelan telur (cysticercus
bovis) pada sapi maupun larva Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) atau larva
Taenia asiatica yang terdapat pada daging babi maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio (onchosphere) yang kemudian
menembus dinding usus. Embrio cacing yang mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang
menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering terserang
sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.
Infeksi
Taenia dikenal dengan istilah Taeniasis
dan Sistiserkosis. Sistiserkosis pada manusia
adalah infeksi jaringan
oleh bentuk larva Taenia
(sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing
pita babi). Cacing pita babi
dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi (cysticercus bovis)
tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica
dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan
bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.
Manusia
terkena taeniasis apabila memakan daging sapi atau babi yang setengah matang yang
mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia
dewasa dalam usus
manusia. Manusia terkena sistiserkosis bila tertelan makanan
atau minuman
yang mengandung telur Taenia solium. Penularan dapat juga terjadi karena autoinfeksi,
yaitu langsung melalui ano-oral akibat kebersihan tangan yang kurang dari
penderita Taniasis solium.
Sumber
penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu :
1. Penderita
taeniasis sendiri dimana tinjanya mengandung telur atau segmen tubuh (proglotid) cacing pita.
2.5 Pengobatan Penyakit Sistiserkosis
Pengobatan
sistiserkosis tergantung pada berbagai faktor, termasuk gejala individu, lokasi
dan jumlah cysticerci, dan tahap perkembangan kista. Secara umum, pengobatan
disesuaikan dengan setiap pasien dan presentasi khusus mereka, dan rejimen
pengobatan mungkin termasuk agen obat cacing, kortikosteroid, obat-obatan
antikonvulsan, dan atau pembedahan.
Manajemen bedah mungkin diperlukan pada kasus
tertentu sistiserkosis. Operasi pengangkatan kista pusat sistem saraf atau
penempatan shunt otak (untuk mengurangi tekanan) kadang-kadang diperlukan dalam
beberapa kasus neurocysticercosis. Sistiserkosis mata harus dioperasi,
sedangkan sisterkosis di otak hanya dapat dioperasi jika terdapat hanya satu
kista saja yang lokasinya memungkinkan. Sistiserkosis jaringan subkutan atau
otot mempunyai prognosis baik, sedangkan sistiserkosis jantung, otak, mata atau
organ penting lainnya prognosisnya buruk. Berikut pengobatan sistiserkosis yang
diberikan :
1. Prazikuantel per oral 50 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 15 hari.
2. Albendazol per oral 15 mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis selama 7 hari.
Penggunaan obat tersebut biasanya menimbulkan efek samping yang membuat penderita kurang nyaman. Hal itu dapat dikurangi dengan memberikan kortikosteroid, yaitu prednison 1mg/kgBB/hari dosis tunggal atau dibagi dalam tiga dosis. Kortikosteroid yang juga dapat diberikan adalah deksametason dengan dosis yang setara dengan prednison.
Keberhasilan pengobatan sistiserkosis dapat diketahui melalui pemeriksaan tinja pada bulan ketiga sampai bulan keenam setelah pengobatan. Pengobatan dinyatakan berhasil bila tidak ditemukan telur Taenia sp dan proglotidnya. Apabila ditemukan telur Taenia sp, prologtid, atau keduanya maka hal itu menandakan telah terjadi infeksi baru (reinfeksi).
2.6 Pencegahan Penyakit Sistiserkosis
Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat
ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang menderita Taeniasis.
Keluarga pasien sebaiknya juga menjalani pemeriksaan untuk memastikan tidak
terkontaminasi. Anjing yang sering berkeliaran dan bergabung dengan hewan
ternak lain harus dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan bangkai hewan
yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi,
hewan ternak dilarang kontak langsung dengan feses manusia. Untuk mencegah
Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang
matang, baik daging babi (untuk T. solium). Daging yang terkontaminasi
harus dimasak dahulu dengan suhu di atas 56oC.
Selain itu, dengan membekukan daging terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko
penularan penyakit.
Menurut FLISSER et al. (1986),
daging yang direbus dan dibekukan pada suhu -20oC
dapat membunuh sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu -20oC,
tetapi pada suhu 0 – 20oC akan tetap hidup selama
2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari (BROWN dan BELDING,
1964).
Menurut Departemen Kesehatan RI, upaya
pencegahan sistiserkosis dapat dilakukan dengan :
a. Usaha untuk menghilangkan sumber
infeksi dengan mengobati penderita taenasis
b. Pemakaian jamban keluarga, sehingga
tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput.
c. Pemeliharaan sapi atau babi pada
tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga tidak dapat
berkeliaran.
d. Pemeriksaan daging oleh dokter
hewan/mantri hewan di RPH, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai
dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan)
e. Daging yang mengandung kista tidak
boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam
daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk upacara -
upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya.
f. Menghilanglkan kebiasaan maka
makanan yang mengandung daging setengah matang atau mentah.
g. Memasak daging sampai matang ( diatas
57 º C dalam waktu cukup lama ) atau membekukan dibawah 10ºC selama 5 hari .
Pendekatan ini ada yang dapat diterima ,tetapi dapat pula tidak berjalan ,
karena perubahan yang bertentangan
dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan. Untuk itu kebijaksanaan
yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.
Upaya pencegahan
sistiserkosis juga tidak jauh berbeda dengan upaya pencegahan pada penyakit
disentri yakni mencuci tangan
dengan sabun dan air mengalir setelah menggunakan kamar mandi dan sebelum memegang produk
makanan, mencuci dan mengupas semua
sayuran mentah dan buah-buahan sebelum dikonsumsi, hindari semua makanan yang berpotensi terkontaminasi dengan kotoran, minum hanya air kemasan, air
yang telah direbus selama minimal
1 menit, atau minuman berkarbonasi yang ada di kaleng atau botol, jangan menggunakan es batu di daerah dimana babi diperbolehkan untuk berkeliaran dengan bebas atau di tempat – tempat yang sanitasi dan kebersihannya tidak memadai.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konsep Penyebab Penyakit Sistiserkosis dan Elemen Penyakit Sistiserkosis
Sistiserkosis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupunsebaliknya. Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia solium atau dikenal dengan cacing pita babi , sementara Taenia saginata dikenal juga sebagai cacing pita sapi.
Sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taeniasolium (cacing pita babi). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia. Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalammenyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti. Terdapat dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.
Elemen-elemen penyebab
Host
Host pada
sistiserkosis terdapat dua, yaitu sebagai host definitive dan host perantara.
Pada penyakit sistiserkosis yang bertindak sebagai host definitive yaitu
manusia, sedangkan yang bertindak sebagai host perantara yaitu babi dan sapi.
Environment
Lingkungan yang
mendukung yang mendukung penularan penyakit adalah lingkungan yang sanitasi
buruk, contohnya jenis sumber air bersih dan tempat Buang Air Besar yang buruk.
Tempat kandang yang memiliki sanitasi yang buruk juga ikut serta dalam mendukung
penyakit sistiserkosis.
Agent
Telur (cysticercus bovis) pada sapi maupun larva
Taenia Solium (Cysticerosis cellulosa) atau larva Taenia asiatica yang terdapat
pada daging babi.
3.2 Level Pencegahan Penyakit Sistiserkosis
3.2.1 Tingkat Pencegahan
Pengetahuan tentang
perjalanan penyakit dan
faktor-faktor yang mempengaruhi
berguna untuk menemukan strategi
pencegahan penyakit yang efektif. Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan
untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan
kecacatan, dengan menerapkan sebuah atau
sejumlah intervensi yang telah
dibuktikan efektif. (Kleinbaum et al., 1982; Last, 2001).
Levelpencegahan
penyakit itu ada 4, yaitu :
1.
Pencegahan
primordial yaitu untuk menghindari terbentuknya pola hidup sosial ekonomi dan
kultural yang diketahui mempunyai kontribusi untuk meningkatkan risiko
penyakit, pencegahan primordial yang efektif memerlukan adanya peraturan yang
ketat dari pemerintah. Targetnya yaitu pada populasi/kelompok
terseleksi.
2.
Pencegahan primer adalah
upaya memodifikasi faktor
risiko atau mencegah berkembangnya faktor
risiko, sebelum dimulainya
perubahan patologis, dilakukan
pada tahap suseptibel dan induksi penyakit,
dengan tujuan mencegah
atau menunda terjadinya
kasus baru penyakit (AHA Task
Force, 1998). Tujuannya yaitu mengurangi insiden penyakit dengan cara
mengendalikan penyebab penyakit dan faktor risikonya. Upaya yang dilakukan
adalah untuk memutus mata rantai infeksi “agent – host – environment”. Targetnya yaitu pada total populasi, kelompok terseleksi, dan pada
individu sehat.
3.
Pencegahan sekunder
merupakan upaya pencegahan
pada fase penyakit asimtomatis, tepatnya pada tahap preklinis,
terhadap timbulnya gejala-gejala penyakit secara klinis melalui deteksi
dini (early detection).
Jika deteksi tidak
dilakukan dini dan
terapi tidak diberikan segera maka
akan terjadi gejala
klinis yang merugikan.
Deteksi dini penyakit
sering disebut “skrining”. Skrining
adalah identifikasi yang
menduga adanya penyakit
atau kecacatan yang belum diketahui dengan menerapkan suatu tes,
pemeriksaan, atau prosedur lainnya, yang dapat dilakukan dengan cepat. Tes
skrining memilah orang-orang yang tampaknya mengalami penyakit dari
orangorang yang tampaknya
tidak mengalami penyakit.
Tes skrining tidak
dimaksudkan sebagai
diagnostik. Orang-orang yang
ditemukan positif atau
mencurigakan dirujuk ke
dokter untuk penentuan diagnosis
dan pemberian pengobatan yang diperlukan (Last, 2001). Tujuan dari pencegahan
sekunder ialah untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah
komplikasi. Targetnya yaitu pasien.
4.
Pencegahan tersier
adalah upaya pencegahan
progresi penyakit ke
arah berbagai akibat penyakit
yang lebih buruk,
dengan tujuan memperbaiki
kualitas hidup pasien. Pencegahan tersier biasanya
dilakukan oleh para
dokter dan sejumlah
profesi kesehatan lainnya (misalnya, fisioterapis).
Pencegahan tersier dibedakan
dengan pengobatan (cure),
meskipun batas perbedaan
itu tidak selalu jelas.
Jenis intervensi yang
dilakukan sebagai pencegahan
tersier bisa saja merupakan
pengobatan. Tetapi dalam
pencegahan tersier, target yang
ingin dicapai lebih kepada
mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan organ,
mengurangi sekulae, disfungsi, dan keparahan
akibat penyakit, mengurangi
komplikasi penyakit, mencegah
serangan ulang penyakit,
dan memperpanjang hidup. Sedang
target pengobatan adalah
menyembuhkan pasien dari
gejala dan tanda klinis yang telah
terjadi. Tujuan pencegahan tersier menurunkan kelemahan dan kecacatan,
memperkecil penderitaan dan membantu penderita-penderita untuk melakukan
penyesuaian terhadap kondisi yang tidak dapat diobati lagi. Targetnya adalah
pasien.
3.2.2 Upaya Pencegahan Pada Sistiserkois
1. Pencegahan
Primordial
a. Mempertahankan
gaya hidup yang sudah ada dan benar dalam masyarakat.
b. Peningkatan
kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas larva cacing (sistiserkus).
Pengawasan yang dilakukan pada negara endemis biasanya adalah inspeksi yang
dilakukan di rumah potong sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai
dikonsumsi masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas Peternakan).
2. Pencegahan
Primer
a. Promosi
kesehatan masyarakat, misalnya dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai
kesehatan. Meningkatkan pendidikan komunitas dalam kesehatan (kebersihan,
mempersiapkan makanan, dan sebagainya)
b. Pencegahan
khusus, yaitu pencegahan keterpaparan dan pemberian kemopreventif. Pada babi,
dapat dilakukan pemberian oxfendazole oral (30 mg/kg BB). Bila perlu, vaksinasi
dengan TSOL18, setelah dilakukan eliminasi parasit dengan kemoterapi.
c. Memasak
daging sampai di atas 50 derajat C selama 30 menit, untuk membunuh kista
cacing, membekukan daging (Soedarto, 2008). Daging yang mengandung kista tidak
boleh dimakan. Masyarakat diberi gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam
daging, hal ini penting dalam daerah yang banyak memotong babi untuk
upacara-upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali dan Irian jaya dan
menghilanglkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging setengah matang
atau mentah.
d. Pemakaian
jamban keluarga, tidak membuang tinja di sembarang tempat sehingga tinja
manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah atau rumput dan untuk
menjaga kebersihan lingkungan.
e. Pada
daerah endemik, sebaiknya tidak memakan buah dan sayur yang tidak dimasak yang
tidak dapat dikupas.
f. Hanya
meminum air yang telah dikemas dalam botol, air yang disaring, atau air yang
dididihkan selama 1 menit.
3. Pencegahan
Sekunder
a. Mengobati
penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan mencegah terjadinya autoinfeksi
dengan larva cacing.
b. Pemelihara
sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau sapi dikandangkan sehingga
tidak dapat berkeliaran.
4. Pencegahan
Tersier
Usaha untuk
penanggulangan penyakit agar tidak menular.Orang yang terinfeksi harus
dilindungi sehingga mereka tidak dapat berkontribusi pada siklus
penularan.
3.3 Program Pemerintah yang telah dilaksanakan dalam menyelesaikan masalah Penyakit Sistiserkosis
Program pemerintah dalam pemberantasan
sisterserkosis antara lain meliputi :
a.
Pengobatan
terhadap penderita / yang diduga mengandung parasite
b.
Pemeriksaan
daging babi, bagaimana cara pengolahannya dan memasaknya.
c.
Perbaikan
infrastruktur bersih
d.
Penyuluhan
tentang kebiasaan hidup sehat dan mencuci tangan, menghindari panganter kontaminasi.
WHO
merekomendasikan melakukan pendidikan keamanan makanan melalui di keluarkannya
lembar-balik berisi tentang peraturan keamanan makanan yang dapat saja
terkontaminasi telur cacing pita dan telah di terbitkan ke berbagai Negara
misalnya di Guatemala. Ada juga di Australia dengan membuat dokumen yang berisi
informasi rinci mengenai peraturan keamanan makanan bagi seluruh rumah tangga. Sedangkan di Kenya dan Nepal mereka
mengeluarkan komik yang di sukai sasaran sebagai bahan penyuluhan untuk
mencegah meningkatnya prevalensi Sisterserkosis
Di
Indonesia sendiri,upaya pencegahannya melalui pemeriksaan daging babi,termuat
dalam peraturan menteri pertanian: nomor 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang
Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas,Daging,dan/atau Jeroan dari Luar
negeri.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Sistiserkosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium (cacing pita
babi).Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila
ditemukan di dalam otak.Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung
cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya
larvae T. solium. Seorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang
mencemari makanan tertelan. Gejala
klinis yang timbul tergantung dan letak jumlah, umur, dan lokasi dari
kista.Sistiserkosis serebri sering menimbulkan gejala epilepsi atau gejala
tekanan intrakranial meninggi dengan sakit kepala dan muntah yang menyerupai
gejala tumor otak.Pada kasus yang berlangsung lama dapat dijumpai bintik
kalsifikasi dalam otak.
Secara umum, pengobatan disesuaikan
dengan setiap pasien dan presentasi khusus mereka, dan rejimen pengobatan
mungkin termasuk agen obat cacing, kortikosteroid, obat-obatan antikonvulsan,
dan atau pembedahan.
2.4 Saran
Dengan
dibuatnya makalah ini, di sarankan agar masyarkat selalu menjaga kebersihan
serta menerapkan pola PHBS pada kesehariannya.
DAFTAR PUSTAKA
WHO.2002.Foodborne Disease: a focus for health
education.Buku Kedokteran
EGC.Jakarta
(CDC) Centers
for Disease Control. 2010. http://www.dpd.gov./dpdx/html/Taeniasis.html[diakses
pada 7 April 2014]
Jurnal : Ununsual
manifestations of neurocysticercosis in MR imaging: analysis of 172 cases ISSN
0004-282X - http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0004-282X2003000400002&script=sci_arttext
digilib.litbang.deptan.go.id/repository/index.php/repository/.../1873